B. Apabila rehabilitasi tidak dicantumkan dalam Amar Putusan oleh Pengadilan
5. Kelalaian hakim dalam mencantumkan rehabilitasi dalam amar putusan.Seperti yang sudah disinggung, dalam praktek peradilan sering terjadi kelalaian mencantumkan pemberian rehabilitasi dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Padahal pemberian rehabilitasi dalam putusan yang sedemikian:
1. Merupakan perlindungan terhadap hak asasi terdakwa. Hal ini sesuai dengan salah satu asas yang menjadi tujuan KUHAP yakni disamping KUHAP bertujuan melindungi kepentingan umum, sekaligus harus melindungi hak asasi terdakwa.
2. Dengan demikian pemberian dan pencantuman amar rehabilitasi dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum merupakan “kewajiban” bagi pengadilan dalam semua tingkat, mulai dari tingkat pertama, banding, dan kasasi.
Oleh karena pemberian rehabilitasi dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum merupakan perlindungan terhadap hak asasi terdakwa, pencantuman dalam putusan yang demikian adalah bersifat “imperatif”. Ketentuan Pasal 97 ayat (1) jo. Ayat (2) bersifat memaksa bagi semua tingkat pemeriksaan untuk mencantumkan pemberian rehabilitasi dalam putusan bebas atau lepas dari semua tuntutan hukum sesuai dengan redaksi rehabilitasi yang diatur dalam Pasal 14 PP No. 27/1983.
Oleh karena itu, putusan yang lalai mencantumkan pemberian rehabilitasi dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum memperkosa hak asasi terdakwa serta sekaligus pula mengandung kesalahan penerapan hukum, selayaknya perkosaan dan kekeliruan itu dapat diperbaiki apabila putusan yang bersangkutan sudah sempat memperoleh kekuatan hukum tetap. Sekiranya putusan belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap, dan terhadap putusan diminta lagi upaya kasasi, masih ada kemngkinan untuk memperbaiki kelalaian dalam tingkat kasasi.
Akan tetapi yang dipermasalahkan, apabila putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Umpamanya Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tanpa mencantumkan pemberian rehabilitasi kepada terdakwa. Jaksa tidak mengajukan kasasi, berarti putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. Padahal putusan jelas mengandung perkosaan dan kesalahan penerapan hukum karena lalai mencantumkan pemberian rehabilitasi.
Hal yang seperti ini bisa juga terjadi pada tingkat banding, Misalnya, Pengadilan Negeri menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa atau jaksa mengajukan banding. Pengadilan Tinggi dalam tingkat banding menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tanpa mencantumkan pemberian rehabilitasi kepada terdakwa. Terhadap putusan itu jaksa tidak menjatuhkan kasasi, sehingga putusan yang mengandung perkosaan dan kekeliruan penerapan hukum itu memperoleh penerapan hukum tetap. Demikian juga misal dalam tingkat kasasi, kelalaian yang disebut diatas bisa saja terjadi. Umpamanya Pengadilan Negeri atau pengasilan tinggi menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tanpa mencantumkan pemberian rehabilitasi. Dalam tingkat kasasi putusan dikuatkan oleh putusan Makamah Agung tanpa memperbaiki kekeliruan dimaksud. Atau dalam Tingkat Kasasi Makamah Agung menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dengan jalan membatalkan putusan Pengadilan timggi yang menjatuhkan putusan hukum pidana terhasap terdakwa. Akan tetepi, Makamah Agung lalai dalam mencantumkan pemberian rehabilitasikepada terdakwa.
Bertitik tolak dari ketentuan Undang-Undang dan peraturan, sama sekali tidak ada diatur tata cara memperoleh rehabilitasi dalam kasus kasus tersebut. Akibatnya, jika semata-mata bertitik tolak dari ketentuan peraturan perundang-undangan “tertutup” hak terdakwa untuk mendapatkan rehabilitasi. Berarti atas kelelaian pengadilan menerapkan hukum sesuai denag Pasal 97 ayat (2), hilang dan lenyapnya hak terdakwa memperoleh rehabiitasi.
Tentu hal ini tidak patut dan tidak adil. Sebab keteledoran dan kelalaian pengadilan dijadikan alasan untuk pembenaran perkosaan terhadap hak asasi terdakwa. Hal ini tidak adil, dan sangat merugikan kepentingan terdakwa. Oleh karena itu praktek hukum mesti menciptakan upaya hukum yang praktis dan memadai demi untuk memulihkan hak dan perlindungan kepentingan terdakwa. Praktek hukum mesti membuka jalan yang memberi hak bagi terdakwa untuk memperbaiki kelalaian pengadilan, pemberian hukum ini sangat prinsipil sebagai sarana memperbaiki kesalahan yang dilakukan pengadilan sendiri.
6. Tata Cara Pengajuan Rehabilitasi yang Tidak Dicantumkan Dalam Amar Putusan
Tata Cara Pengajuan rehabilitasi ditempuh dengan upaya hukum yang praktis dan sederhana Upaya hukum atau proses apa yang dapat ditempuh terdakwa atas kelalaian pengadilan ini. Melalui upaya peninjauan kembali, jelas buntu, karena terbentur pada ketentuan pasal 263 ayat (1), peninjauan kembali tidak diperbolehkan terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Dengan demikian upaya peninjauan kembali tidak mungkin ditempuh oleh terdakwa. Lagi pula sekiranya pun upaya peninjauan kembali yang akan ditempuh terdakwa, kurang praktis, dan terlampau panjang prosesnya. Prosedurnya terlampau berliku-liku, mulai dari pengajuan permohonan, pemeriksaan di sidang yang dihadiri penuntut umum, pembuatan berita acara sidang, pembuatan berita acara pendapat. Sesudah itu selesai, baru permohonan disampaikan kepada Makhamah Agung.
Lebih logis jika ditempuh upaya hukum yang praktis dan sederhana, dengan cara pendekatan “konsistensi” terhadap ketentuan tata cara dan proses pemeriksaan rehabilitasi yang diatur bagi Praperadilan, yakni tata cara permintaan rehabilitasi yang diatur dalam Pasal 97 ayat (3) jo. Pasal 77 huruf b, jo. Pasal 82 dan jo. Pasal 83 ayat (1) KUHAP.
Dengan cara pendekatan ini, permohonan rehabilitasi berdasar putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang lalai mencantumkan pemberian rehabilitasi, dapat diajukan terdakwa denagn ketentuan permintaan rehabilitasi yang diatur Pasal 97 ayat (3), dengan cara mengajukan:
a) Kepada Pengadilan Negeri yang semula memeriksa dan memutus perkara itu dalam tingkat pertama.
b) Permohonan diajukan kepada pengadilan yang memeriksa dan memutus perkara pada tingkat pertama, tanpa mempersoalkan kelalaian itu terjadi pada tingkat banding atau kasasi. Kewenangan untuk memeriksa permohonan, memeriksa, dan mengutus diberikan kepada pengadilan negeri yang memeriksa dan memutus perkara itu dalam tingkat pertama. Pemberian kewenangan yang demikian demi menyederhanakan prosedur dan proses.
c) Proses pemeriksaan berpedoman kepada pemeriksaan Praperadilan,
d) Tata cara pemeriksaan rehabilitasi dalam kasus ini disamakan dengan pemeriksaan rehabilitasi yang diatur Pasal 97 ayat (3), mengikuti acara Praperadilan yang ditentukan Pasal 82 KUHAP. Namun tidak mutlak diterapkan cara pemeriksaan yang diatur pasal 82, terutama yang menyangkut ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf b. Jadi tidak perlu memaksa pejabat yang bersangkutan atau hakim yang lalai menyantumkan pemberian rehabilitasi. Pengadilan negeri cukup memeriksa putusan pengadilan yang telah lalai mencantumkan pemberian rehabilitasi.
e) Bentuk putusan berpedoman kepada putusan Praperadilan. Putusan yang dijatuhkan sama dengan putusan Praperadilan yakni bentuk “penetapan” sebagaiman yang ditentukan Pasal 82 ayat (3) huruf c jo. Pasal 83 ayat (2) KUHAP.
f) Tenggang waktu mengajukan permohonan 14 hari,
g) Sekalipun kelalaian pengadilan dalam kasus ini merupakan perkosaan dan pelanggaran hak asai terdakwa, janganlah sampai alasan ini menghilangkan ketertiban peradilan dan kepastian hukum. Oleh karena itu perlu dibatasi jangka waktu pengajuan.
Tenggang waktu mengajukan sebaiknya berpedoman secara konsisten dengan ketentuan Pasal 12 PP No. 27/1983, yakni dalam waktu 14 hari sejak putusan pengadilan yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap, patut dan layak bagi terdakwa yang benar-benar ingin memperoleh perlindungan hak asasi. Terdakwa yang lalai dianggap tidak serius untuk memulihkan hak yang diberikan undang-undang kepadanya.
7. Pihak Yang Berhak Mengajukan Rehabilitasi, Apabila Tidak Dicantumkan Dalam Amar Putusan
Mengenai orang yang berhak mengajukan permintaan rehabilitasi tidak begitu jelas diatur dalam Pasal 97. hanya dalam Pasal 97 ayat (3) ada disinggung sepintas lalu orang yang berhak mengajukan permintaan. Berdasarkan ayat (3) tersebut, hanya tersangka saja yang disebut berhak mengajukan. Untung Pasal 12 PP No. 27 Tahun 1983, memperjelas masalah ini. Berpedoman kepada ketentuan Pasal 97 ayat (3) KUHAP dan Pasal 12 PP No. 27 Tahun 1983, orang yang berhak mengajukan permintaan rehabilitasi adalah:
a) Tersangka
Memperhatikan tentang orang yang berhak mengajukan permintaan rehabilitasi yaitu terdakwa yang tidak termasuk ke dalam kelompok orang yang berhak mengajukanya. Karena undang-undang dan peraturan hanya menyebutkan tersangka saja, dan menyampingkan terdakwa untuk mengajukan permintaan rehabilitasi. Padahal Pasal 97 ayat (1) KUHAP sudah menegaskan bahwa seseorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan dijatuhkan kepadanya putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Jadi yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) ialah orang yang didakwa atau diperiksa dalam siding pengadilan, oleh pengadilan dijatuhkan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Berarti Pasal 97 ayat (1) telah membenarkan sendiri adanya hak terdakwa untuk memperoleh rehabilitasi, apabila pengadilan menjatuhkan pytusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum kepadanya. Pasal 97 ayat (3) dan Pasal 12 PP No. 27 Tahun 1983 tidak mencantumkan terdakwa sebagai orang yang berhak mengajukan rehabilitasi. Karena bagi terdakwa yang kepadanya dijatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, tanpa mengajukan permintaan kepadanya meski diberikan secara langsung dalam pembcaan amar putusan. Demikian pula Pengadilan Tinggi dan Makamah Agung, harus memberikan dan mencantumkan rehabilitasi jika terdakwa dijatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.
b) Keluarga Tersangka
Hak mengajukan rehabilitasi yang diberikan undang-undang kepada keluarga tersangka meerupakan hak yang sederajat dengan yang diberikan kepada tersangka. Sejak semula keluarga tersangka berhak mengajukan permintaan rehabilitasi, sekalipun tersangka masih hidup atau sehat. Tidak ada hak prioritas antara tersangka tersangka dengan keluarganya. Masing-masing mempunyai hak sederajat untuk mengajukan permintaan rehabilitasi.
Siapa yang dimaksud dengan keluarga adalah sesuai yang diatur dalam Pasal 168 KUHAP yaitu:
1. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah
2. Saudaranya
3. Suami atau istrinya.
c) Kuasa hukum tersangka
Rehabilitasi diberikan kepada kuasa hukum mengajukan permintaan rehabilitasi. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 14 PP No. 27 Tahun 1983 yang menentukan bahwa permohonan rehabilitasi yang diajukan keluarga atau kuasanya, untuk yang dimohonkan.
4. Tenggang Waktu Mengajukan Rehabilitasi Bila Tidak Dicantumkan Dalam Amar Putusan
Tenggang waktu mengajukan permintaan rehabilitasi ditentukan dalam Pasal 12 PP No. 27 Tahun 1983 yang berbunyi:
Permintaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3) KUHAP diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada pengadilan yang berwenang, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan diberitahukan kepada pemohon.
Berdasarkan bunyi ketentuan Pasal 12 PP No. 27 Tahun 1983, tenggang waktu mengajukan permintaan rehabilitasi adalah 14 hari terhitung sejak putusan mengenai penangkapan atau penahanan diberitahukan. Jika pasal 12 tersebut diteliti lebih lanjut, tenggang waktu yang diatur didalamnya hanya yang berkenaan dengan permintaan rehabilitasi, yang disebut dalm Pasal 97 ayat (3) KUHAP, yakni tenggang waktu mengenai rehabilitasi atas alasan penangkapan atau penahanan yang tidak sah, yang perkaranya tidak diajukan didalam persidangan pengadilan. Sedangkan tenggang waktu untuk alasan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana yang disebut dalam Pasal 97 ayat (1) KUHAP, tidak ada disinggung dalam Pasal 12 PP No. 27 Tahun 1983. alasanya, setiap putusan pengadilan yang merupakan pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum, harus sekaligus memberikan dan mencantumkan rehabilitai. Itu sebabnya tidak ada tenggang waktu untuk perberian rehabilitasi terhadap terdakwa yng diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setelah menguraikan apa yang menjadi perumusaan masalah di dalam penelitian hukum ini, penulis mengambil kesimpulan untuk lebih memperjelas apa yang menjadi pokok permasalahan dan jawaban terhadap pokok permasalahan tersebut. Kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pemberiaan rehabilitasi yang diberikan terhadap terdakwa yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum oleh pengadilan dilakukan berdasarkan Pasal 97 ayat (2) dengan mencantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan. Pencantuman itu sekaligus dipertegas dalam Pasal 14 ayat (1) PP No. 27 Tahun 1983. Perumusan redaksi ini dalam peraturan, memperlancar pelayanan pemberian rehabilitasi
a) Penyampaian petikan dan salinan pemberian putusan rehabilitasi diatur dalam Pasal 13 PP No. 27 Tahun 1983. Pasal ini mengatur kewajiban panitera Pengadilan negeri untuk menyampaikan petikan dan salinan putusan rehabilitasi kepada pemohon dan pihak instansi tertentu. Tujuanya, agar pemberian rehabilitasi tersebut diketahui pihak yang berkepentingan, instansipenegak hukum yang bersangkutan serta masyarakat lingkungan dimana pemohon rehabilitasi bertempat tinggal dan bekerja. Pihak dan instansi yang berhak mendapat petikan dan salinan putusan rehabilitasi:
c) Petikan penetapan disampaikan kepada pihak pemohon
Hal ini diatur dalam Pasal 13 ayat (1) PP No.27 Tahun 1983. Kepada pemohon cukup disampaikan petikan penetapan, namun tidak mengurangi haknya untuk mendapatkan salinan penetapan jika ia menghendakinya. Untuk itu pemohon dapat meminta salinan penetapan kepada panitera pengadilan. Hak pemohon untuk mendapatkan salinan petikan rehabilitasi bertitik tolak dari ketentuan Pasal 226 ayat (3) KUHAP.
d) Salinan penetapan disampaikan kepada beberapa instansi
Mengenai pemberian salinan penetapan rehabilitasi diatur dalam Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) PP No.27 Tahun 1983. Berdasarkan ketentuan ini, pemberian atau pengiriman salinan penetapan rehabilitasi :
a) Diberikan kepada penyidik
b) Diberikan kepada penuntut umum
c) Instansi tempat pemohon bekerja
d) Kepada Ketua Rukun Warga (RW) dimana pemohon tinggi
2). Putusan yang lalai mencantumkan pemberian rehabilitasi dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum memperkosa hak asasi terdakwa serta sekaligus pula mengandung kesalahan penerapan hukum yang sangat merugikan terdakwa. Jika terjadi kelalaian dalam amar putusan kasus yang telah diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, maka putusan diancam batal demi hukum. Orang yang berhak mengajukan permintaan rehabilitasi adalah:
a) Tersangka
b) Keluarga Tersangka
c) Kuasa Hukum Tersangka
B. SARAN
1. Bahwa pengaturan rehabilitasi baik berdasarkan KUHAP maupaun berdasarkan PP No. 27 Tahun 1983 belum padu. Pengajuan rehabilitasi akan lebih efisien jika diajukan sendiri dengan acara praperadilan sehingga dapat disatukan dengan tuntutan ganti rugi. Hal ini dapat menghilangkan kerancuan, karena hak rehabilitasi itu baru ada jika putusan telah berkekuatan hukum tetap
2. Sebaiknya penempatan penetapan atau putusan rehabilitasi tersebut tidak hanya pada papan pengumuman pengadilan, tetapi bisa dalam papan Pengumuman Pemerintahan daerah, misalnya Kelurahan/Kepala Desa, Kecamatan dan Kabupaten. Jika dikaji dengan seksama maka hal lebih tepat karena papan Pengumuman Pemerintah Daerah, lebih bersifat memasyarakat atau lebih merakyat dari pada papan Pengumuman Pengadilan
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah. 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.
Bambang Waluyo. 2000. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta : Sinar Grafika.
Burhan Ashshofa. 2004. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
C. S. T .Kansil. 1992. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Balai Pustaka.
Erni Widhayanti. 1988. Hak-hak Tersangka/ Terdakwa didalam KUHAP. Yogyakarta: Liberty.
HB. Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : UNS Press.
Imam Soetikno dan Robby Khrismanaha. 1996. Pokok-Pokok Hukum Acara Pidana. Surakarta : UNS Press.
Leden Marpaung. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta : Sinar Grafika.
______________. 1997. Proses Tuntutan Ganti Rugi dan rehabilitasi dalam hukum Pidana. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
M. Yahya Harahap. 2000. Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta : Sinar Grafika.
M. Hanafi Asmawie.1990. Ganti Rugi dan Rehabitasi menurut KUHAP. Jakarta : Pradnya Paramita.
Mangasa Sidabutar. 1999. Hak Terdakwa, Terpidana, Penuntut umum Menempuh Upaya Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Moch. Faisal Salam. 2001. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek. Bandung.: Mandar Maju.
Moeljatno. 1999. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Oemar Seno Adji. 1984. Hukum Hakim Pidana. Jakarta : Erlangga.
_________. 1989. KUHAP Sekarang. Jakarta :Erlangga.
R. Wirjono Prodjodikoro. 1983. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Bandung: Sumur Bandung.
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana